Saat itu mukanya muram. Entah apa masalahnya. Meski sudah terhitung tahun mengenalnya, detil kehidupan sosok Salman pun aku tetap tak tahu. Lagi pula ia juga tak mau bercerita.
"Aku, siapa aku?" tiba-tiba bersuara.
Aku hanya diam, tak menimpali apapun. Kukira siapapun orang jika sedang dalam suasana yang tak bercahaya akan mudah sensitif pada perkataan dan cenderung berpikir negatif.
"Hey!!" bentaknya sambil melotot bak serius.
"Apa?"
"Siapa aku?"
"Aku diriku, atau aku dirimu yang kau maksud, man?"
"Kau!" jawabnya sambil menunjukku.
Kupikir sejenak, lalu kutemukan jawaban yang semoga saja tak membuatnya makin muram. "Aku itu temanmu, aku itu pelajar, aku itu penulis, aku itu pecinta sastra, aku itu pemuda, aku itu warga negara yang baik, dan banyak lagi kukira."
Mendengar perkataanku itu ia hanya diam, sesekali mengangguk dan menggaruk dagunya. "Jadi apa maksudmu, Man?"
"Tak ada."
"Apanya yang tak ada?"
"Tak ada maksud apa-apa selain hanya sekedar tahu."
"Apa yang kau cari tahu?"
"Ternyata, Aku itu banyak, bukan hanya satu, kau sudah mencobanya, menyebutkan siapa sebenarnya aku (dirimu) itu. Kau bilang pemuda, penulis, pecinta sastra, warga negara, teman dan bla bla itu. Artinya dalam diri itu sebenarnya ada banyak potensi, tapi kenapa aku hanya jadi orang yang begini-begini saja."
"Kau menyindirku, Man?"
"Tidak, pikiranmu saja yang kotor pada kalimatku tadi," tegasnya. Padahal apa yang dikatakannya itu memang menyentil sosok diriku yang hanya jadi manusia penonton.
___
Story of Pikiran Salman (@Sandallll)
www.sandallll.xyz